Menurut saya implementasi etika bisnis di Indonesia, yang mencakup empat
teori yakni utilitarisme, deontologi, teori hak dan teori keutamaan, masih
sangat rendah. Padahal banyak pakar ekonomi dan bisnis menyebut hal yang mendasari
dibalik ketidak mampuan Indonesia bangkit dari krisis ekonomi yang menerpa di
tahun 1997 salah satunya adalah penerapan etika bisnis dan good corporate governance yang sangat buruk.
Ada beberapa faktor yang menjadi kendala dalam penerapan etika bisnis di
Indonesia yang sampai saat ini masih berlanjut, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Moral values
Disinyalir masih banyak pelaku bisnis
di Indonesia yang cenderung masih mengabaikan etika dan moral dalam menjalankan
praktek usahanya. Lazimnya di Negara yang menjunjung tinggi azas Pancasila,
praktek-praktek yang menyangkut kecurangan dalam dunia bisnis harus nya dapat
dihindari. Memalsukan produk yang merugikan konsumen & manipulasi laporan
keuangan adalah contoh konkretnya.
2. Conflict of interest
Pada hakikatnya semua personel di perusahaan
baik itu karyawan sampai jajaran board of
director, sebisa mungkin harus bisa menjaga diri dari suatu benturan
kepentingan dengan visi dan misi yang sudah di canangkan perusahaan.
Praktek-praktek seperti penggunaan asset perusahaan untuk kepentingan kelompok
atau individu di suatu perusahaan sudah jamak terjadi di Indonesia dan parah
nya hal-hal tersebut sudah menjadi suatu keawajaran.
3. Law enforcement
Sudah menjadi rahasia umum bahwa
penegakan hukum di Indonesia masih menganut prinsip tebang pilih dimana hal
tersebut berlaku juga dalam praktek bisnis. Menurut hasil survei yang di lakukan oleh Neukom Family Fondation,
Bill & Melinda Gates Fondation dan LexisNexis beberapa tahun lalu dikatakan
bahwa Indonesia menempati peringkat ke dua dari bawah untuk wilayah regional
dan peringkat 47 secara global (dari total 57 negara) dalam hal lemahnya
penegakan hukum, korupsi dan praktek-praktek kejahatan lainnya.
4. The political economy of stabilization
Stabilitas politik dan ekonomi membawa
peranan yang cukup vital dalam praktek implementasi filosofi etika bisnis. Namun
dengan kondisi perpolitikan di Indonesia yang masih labil dimanfaatkan oleh
sebagian orang dengan mencari dukungan para elit politik agar tujuan-tujuan
bisnisnya tercapai. Kondisi ekonomi yang serupa pun tak luput di manfaatkan oleh
sebagian pelaku bisnis untuk tindakan kecurangan yaitu dengan memanfaatkan
keadaan guna mencapai suatu keuntungan bagi bisnisnya tanpa menghiraukan dampak
buruknya bagi masyarakat.
Penerapan philosophical ethics and business
di Indonesia
Dari keempat teori yakni
utilitarisme, deontologi, teori hak dan teori keutamaan, teori deontologi lah
yang paling cocok di implementasikan di negara dengan iklim bisnis seperti
Indonesia. Menurut teori yang dikembangkan oleh filsuf Jerman, Emmanuel Kant
ini di katakan bahwa inti dari teori deontology yakni menitik beratkan pada
pelaksanaan kewajiban. Jadi bisa diambil kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan
dikatakan baik apabila didasari atas kewajiban dan niat baik pelakunya. Prinsip
ini sangat bertolak belakang dengan teori utilitarisme yang menitik beratkan
pada azas kebersamaan, yakni suatu perbuatan akan dianggap baik apabila
perbuatan tersebut bermanfaat dan paling banyak mendatangkan kebahagiaan bagi
banyak orang. Lalu pertanyaannya, bagaimana jika suatu perbuatan atau kebijakan
yang dianggap bermanfaat oleh banyak orang tetapi ada sebagian kecil kelompok
orang yang justru dirugikan oleh kebijakan tersebut? Hal ini lah yang sampai
saat ini masih menjadi kontroversi dari penerapan teori utilitarisme. Untuk
memberikan penjelasan lebih detail mengenai penerapan kedua teori ini saya akan
memberikan penjelasan dalam kasus dibawah ini.
Utilitarisme vs deontology
1.
PLN adalah perusahaan yang memonopoli
kelistrikan di negeri ini. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa PLN adalah
perusahaan yang berkewajiban untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Namun
demikian kenyataan yang terjadi justru bertolak belakang, seperti kita ketahui
bersama bahwa pasokan listrik dari PLN hanya bisa dinikmati oleh mereka yang
hidup di kota-kota besar. Bagaimana dengan mereka yang tinggal di desa-desa
terpencil atau mereka yang mereka yang tinggal di wilayah-wilayah perbatasan?
Tentunya menurut penganut deontology kebijakan yang diambil oleh PLN masih
kurang etis meskipun barangkali mereka sudah semaksimal mungkin beritikad baik
untuk memasok listrik keseluruh penjuru nusantara.
2.
Lain halnya dengan cara pandang penganut
utilitarisme, menurut teori ini usaha PLN dalam memasok kebutuhan listrik
nasional sudah dikatakan baik. Hal ini dilandasi oleh fakta bahwa aliran
listrik dari PLN telah memberikan manfaat yang sebesar-besar nya kepada
masyarakat luas meskipun ada sebagian kecil masyarakat yang tinggal di
desa-desa terpencil dan wilayah-wilayah perbatasan belum mendapat pasokan
listrik dari PLN. Teori utilitarisme memandang bahwa PLN sudah berlaku baik
dengan mensuplai pasokan listrik nasional meskipun ada sebagian pihak yang
merasa diperlakukan tidak adil.
Dari dua kasus yang sudah di jelaskan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa teori deontology lebih di rekomendasikan di Indonesia karena sesuai
dengan kultur budaya bangsa yang masih menganut dan menjaga nilai-nilai moral.
Di tambah lagi mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat yang beragama
yang sudah tentu dalam menjalankan suatu perbuatan akan dilandasi oleh suatu
kewajiban yang tertuang dalam berbagai kitab suci.
Komentar
Posting Komentar